Tuesday, October 21, 2008

Topik: Ekonomi

Forex Trading Dalam Perspektif Islam

Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pemikir Islam?
"Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu" sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.
Oleh itu para fuqaha (ahli fiqih Islam) telah menafsir hadith tersebut secara sahih. Yang penting, setiap perbuatan jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad adalah haram. Penafsiran secara demikian itu telah membuatkan fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan zaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karana itu, sejumlah ulama terdahulu yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahawa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah mahupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Gharar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kebenaran oleh yang berkaitan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tiada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga boleh diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, jika barangnya sudah ada tapi - karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas bukan gharar. Sebab, dalam kontrak berjangka, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas satu aturan rasmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya penipuan — satu hal yang betul boleh juga terjadi pada perlakuan jual-beli konvensional.
Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bahagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karana itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.
Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Ertinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karana beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahawa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Ertinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea.
Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang ada dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.
Karana teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam perlembagaan dan bidang perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diertikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk wang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut :
Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
Pihak-pihak pelaku (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.Objek transaksi (ma’qud alaih), iaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahawa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeza dari akad jual dan beli (buy).
Syarat-syarat
Persyaratan berkenaan objek transaksi, adalah: bahawa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, iaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst.
Kejelasan tentang kualiti objek transaksi, apakah kualiti istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.
Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaedah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya.
Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay’ al-salam.

1 comment:

Unknown said...

salam...
berkenaan jual beli ini sebagaimana yang kita ketahui memang dibenarkan di dalam Islam...terdapat pelbagai pedapat dalam membahaskan persolan ini...ini kerana jual beli tersebut berlaku bukan dalam 1 majlis yang sama...seperti yang telah termaktub dalam konsep sahnya sesuatu jual beli tersebut... =)